1.
Pakaian Adat Jawa Barat
Jawa Barat
sebagai propinsi yang terdekat, selain banten, dengan Ibu Kota Jakarta, tentu
mengalami beberapa hal yang sangat memengaruhi kehidupan budaya masyarakatnya. Apa lagi kekinian, buadaya jawa
Barat yang terkenal dengan wilayah Priyangan barat, timur, Cirebon, dan Banten
telah terkontaminasi budaya modernitas dan pergaulannya yang mulai menjauh dari
budaya dan adat daerahnya. Begitu pun dalam hal berpakaian, masyarakat propinsi
Jawa Barat tercatat mengalami beberapa perubahan besar dalam tata cara
berpakaian.
Tulisan ini akan mencoba memaparkan
pakaian adat Jawa barat dari aspek sejarah dan filosofinya yang telah hilang.
Karena jika kita berbicara pakaian adat yang dikenakan masyarakat Jawa Barat
pada hari ini, kita akan terdistorsi dengan perbedaan yang sangat kentara dari
berbagai kota dan kabupaten yang terdapat dalam Propinsi Jawa Barat. Hal ini
disebabkan oleh peperangan yang terjadi selama kurun waktu pra kolonial hingga
dua masa kolonialisme. Terutama Jepang yang sangat keras menerapkan aturannya
di Indonesia, dan mengangkut segala macam bahan pangan, dan sandang.
Sejalan dengan adanya beberapa nilai
yang hilang, maka norma pun berubah. Di antaranya norma tentang cara
berpakaian. Di Jawa Barat pada jaman kolonial Jepang, Ikat kepala atau bendo
hampir serempak ditinggalkan. Sanggul bagi para mojang telah diganti kepang,
dan kain kebaya yang beralih pada gaun yang dianggap lebih praktis. Dengan
kenyataan tersebut, bisa kita tarik kesimpulan bahwa titik kulminasi
perkembangan busana Jawa Barat terjadi pada waktu akhir pemerintahan hindia
Belanda. Buku yang berjudul Tatakrama Oerang Soenda (Satjadibrata, 1946) memuat
beberapa ketentuan cara berpakaian masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang dianggap
pantas saat itu. Cara berpakaian itulah secara umum dijadikan rujukan pakaian
tradisional Masyarakat Jawa Barat.
Jadi tulisan ini akan melangkah menuju rimba sejarah pakaian adat masyarakat Jawa Barat yang bersandar pada hasil-hasil penafsiran bukti bukti sejarah, baik dalam bentuk prasasti, naskah, atau sastra lisan yang menjadi saksi dan tanda keberadaat pakaian tradisional saat itu.
Jadi tulisan ini akan melangkah menuju rimba sejarah pakaian adat masyarakat Jawa Barat yang bersandar pada hasil-hasil penafsiran bukti bukti sejarah, baik dalam bentuk prasasti, naskah, atau sastra lisan yang menjadi saksi dan tanda keberadaat pakaian tradisional saat itu.
Bukti awal yang menunjukkan
keberadaan kerajinan seni tenun di Jawa Barat terdapat pada piagam tembaga
Kebantenan yang ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521),
berikut kutipannya dalam terjemahan: “Inilah tanda peringatan Rahyang Niskala
Wastu Kancana yang turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, demikian pula kepada
Susuhunan yang sekarang ada di Pakuan Pajajaran. Titiplah ibukota di Jayagiri
dan ibu kota Sunda Sembawa. Di sana ada orang yang memberi kesejahtraan. Jangan
diganggu oleh pemungut pajak, baik kapas yang telah ditimbang mau pun padi yang
sudah dipikul...” dapat dipastikan bahwa “kapas” yang disebut dalam piagam itu
adalah bahan baku untuk membuat pakaian.
Begitu pula dalam sastra lisan, pada
cerita rakyat Jawa Barat kita mengenal nama Dayang Sumbi dalam kisah “Tangkuban
Perahu”. Kata dayang pada nama tokoh cerita itu merupakan kata sandang yang
berasal dari danghyang (bahan pembanding “dang” pada kisah Melayu). Ada pun
sumbi secara harfiah berarti “sepotong bambu kecil yang digunakan untuk
pembatas lebar tenunan” (Rig, 1862). Jadi Dayang Sumbi adalah perempuan terhormat
yang pekerjaannya menenun kain.
Dari asumsi tersebut, berarti sudah sejak dulu masyarakat Jawa Barat mengenal seni tradisi tenun, keculi daerah Baduy, namun hari ini kita sudah tidak menemukannya lagi. Padahal tenunan Majalaya dan sarung cap padi buatan Garut sempat merajai pasaran sampai pertengahan dekade enam puluhan.
Informasi lain tertulis pada buku Sanghyang Siksa Kandang Karesian pada tahun 1518 di dalamnya memngungkap mengenai ragam corak tenunan, di antaranya: kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, hujan riris, laris, boleh alus, dan ragen panganten. Selain itu ada pula corak batik, yaitu; pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata dan kembang tarate.
Dari asumsi tersebut, berarti sudah sejak dulu masyarakat Jawa Barat mengenal seni tradisi tenun, keculi daerah Baduy, namun hari ini kita sudah tidak menemukannya lagi. Padahal tenunan Majalaya dan sarung cap padi buatan Garut sempat merajai pasaran sampai pertengahan dekade enam puluhan.
Informasi lain tertulis pada buku Sanghyang Siksa Kandang Karesian pada tahun 1518 di dalamnya memngungkap mengenai ragam corak tenunan, di antaranya: kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jayanti, hujan riris, laris, boleh alus, dan ragen panganten. Selain itu ada pula corak batik, yaitu; pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, taruk hata dan kembang tarate.
Dari informasi di atas, jelaslah
bahwa tradisi menenun dan menulis batik sudah dikenal oleh masyarakat Jawa
Barat sejak abad ke 15. Hal ini membantah anggapan yang menyatakan bahwa
masyarakat Sunda baru mengenal tradisi menulis batik pada abad ke 17 dari orang
Jawa. Namun memang sangat di sayangkan, Masyarakat Sunda tidak mampu
mempertahankannya, hingga hilang dan tak termusiumkan.
Ada juga naskah yang menulis prihal dandanan perempuan Sunda, diperkirakan ditulis awal abad ke-18, yakni pada Ratu Pakuan (Atja, 1970). Berikut ini kutipannya:
Ada juga naskah yang menulis prihal dandanan perempuan Sunda, diperkirakan ditulis awal abad ke-18, yakni pada Ratu Pakuan (Atja, 1970). Berikut ini kutipannya:
Disawur ku
sekar suhun
Kangkalung deung tapok gelung
Sigar de(ng) pameunteun beuheung
Kilat bahu ti katuhu
Geulang kancana ti ketja
Gorolong gumbrar homas kancana kepala dihias oleh bunga
berkalung dan tusuk konde
bermahkota dan lehernya berhias
hiasan pangkal lengan melilit di kanan
gelang mas ada di kiri
berkilauan emas kencana
Kangkalung deung tapok gelung
Sigar de(ng) pameunteun beuheung
Kilat bahu ti katuhu
Geulang kancana ti ketja
Gorolong gumbrar homas kancana kepala dihias oleh bunga
berkalung dan tusuk konde
bermahkota dan lehernya berhias
hiasan pangkal lengan melilit di kanan
gelang mas ada di kiri
berkilauan emas kencana
Dandanan laki-laki pun sering
digambarkan dalam cerita pantun Sunda. Pada pantun Panggung karaton (1971)
antara lain terdapat ungkapan cawet puril pupurikil (bercawat ketat tak
bercelana); disingjangan kotok nonggeng (berkain gaya ayam nungging); totopong
bong totopong bang (ikat kepala bong dan bang); lancingan lepas (celana
panjang); baju bebek (baju berlengan pendek); totopong batik manyingnyong (ikat
kepala gaya batik manyingnyong); dibendo dibelengongkeun (bersetangan kepala
rapih dalam bentuk menggelembung) baju kurung; baju mikung (baju anak-anak);
baju paret (baju dengan kancing banyak); baju senting (baju laki-laki yang
pendek bagian belakannya).
Semua itu kemudian serta merta ditinggalkan karena adanya ketentuan baku dari pemerintah Jepang tentang tata cara berpakaian masyarakat Jawa Barat. Pakaian kaum laki-laki yang dianggap pantas jaman jepang ialah: pertama, bendo, jas (tutup dan bukan berdasi), kain poleng sunda, dan terompah atau selop. Kedua, bendo, jas (tutup atau bukaan berdasi), kain kebat, dan terompah atau selop tanpa kaos kaki; dan ketiga; bendo, jas (tertutup bukan berdasi), pantolan (celana panjang), dan sepatu tanpa kaos.
Semua itu kemudian serta merta ditinggalkan karena adanya ketentuan baku dari pemerintah Jepang tentang tata cara berpakaian masyarakat Jawa Barat. Pakaian kaum laki-laki yang dianggap pantas jaman jepang ialah: pertama, bendo, jas (tutup dan bukan berdasi), kain poleng sunda, dan terompah atau selop. Kedua, bendo, jas (tutup atau bukaan berdasi), kain kebat, dan terompah atau selop tanpa kaos kaki; dan ketiga; bendo, jas (tertutup bukan berdasi), pantolan (celana panjang), dan sepatu tanpa kaos.
Ada pun untuk kaum perempuan ialah
kebaya, kain, selop, dan karembong (selendang). Sedang rambutnya biasa dibentuk
menjadi sanggul yang nama atau jenisnya bermacam-macam. Jika seorang perempuan
tidak mengenakan karembong maka dia akan dianggap wanita murahan. Berawal dari
sanalah kita kehilangan identitas Jawa Barat yang sesungguhnya.
2. Pakaian Adat
Jawa Tengah
Jenis busana
dan kelengkapannya yang dipakai oleh kalangan wanita Jawa, khususnya di
lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah adalah baju kebaya,
kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh
kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana
sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara seperti yang dipakai
oleh seorang garwo dalem misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng
dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya
digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang dipakai seperti
subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan.
Untuk busana sehari-hari umumnya
wanita Jawa cukup memakai kemben yang dipadukan dengan stagen dan kain jarik.
Kemben dipakai untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben
ini cukup lebar dan panjang. Sedangkan stagen dililitkan pada bagian perut
untuk mengikat tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.
Dewasa ini, baju kebaya pada umumnya
hanya dipakai pada hari-hari tertentu saja, seperti pada upacara adat misalnya.
Baju kebaya di sini adalah berupa blus berlengan panjang yang dipakai di luar
kain panjang bercorak atau sarung yang menutupi bagian bawah dari badan (dari
mata kaki sampai pinggang). Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang
berukuran di sekitar pinggul atas sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh
karena itu, wanita Jawa mengenal dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang
berukuran sampai pinggul dan kebaya panjang yang berukuran sampai ke lutut.
Kebaya pendek dapat dibuat dari
berbagai jenis bahan katun, baik yang polos dengan salah satu warna seperti
merah, putih, kuning, hijau, biru dan sebagainya maupun bahan katun yang
berbunga atau bersulam. Saat ini, kebaya pendek dapat dibuat dari bahan sutera,
kain sunduri (brocade), nilon, lurik atau bahan-bahan sintetis. Sedangkan,
kebaya panjang lebih banyak menggunakan bahan beludru, brokat, sutera yang
berbunga maupun nilon yang bersulam. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju
kebaya mereka diberi tambahan bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan
yang berfungsi sebagai penyambung.
Baju kebaya dipakai dengan kain
sinjang jarik/ tapih dimana pada bagian depan sebelah kiri dibuat wiron (lipatan)
yang dililitkan dari kiri ke kanan. Untuk menutupi stagen digunakan selendang
pelangi dari tenun ikat celup yang berwarna cerah. Selendang yang dipakai
tersebut sebaiknya terbuat dari batik, kain lurik yang serasi atau kain ikat
celup. Selain kain lurik, dapat juga memakai kain gabardine yang bercorak
kotak-kotak halus dengan kombinasi warna sebagai berikut: hijau tua dengan
hitam, ungu dengan hitam, biru sedang dengan hitam, kuning tua dengan hitam dan
merah bata dengan hitam. Kelengkapan perhiasannya dapat dipakai yang sederhana
berupa subang kecil dengan kalung dan liontin yang serasi, cincin, gelang dan
sepasang tusuk konde pada sanggul.
Baju kebaya panjang biasanya
menggunakan bahan beludru, brokat, sutera maupun nilon yang bersulam. Dewasa
ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Dan
umumnya digunakan juga oleh mempelai wanita Sunda, Bali dan Madura. Panjang
baju kebaya ini sampai ke lutut, dapat pula memakai tambahan bahan di bagian
muka akan tetapi tidak berlengkung leher (krah). Pada umumnya kebaya panjang
terbuat dari kain beludru hitam atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi
pinggiran baju. Kain jarik batik yang berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk
pakaian ini, tetapi biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan
untaian bunga melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang
dipakai juga sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran
yang dipakai di sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai
sebagai busana upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga
melati dan tusuk konde.
Mengenai teknik dan cara membuat
baju kebaya sangat sederhana. Potongan dan model kebaya Jawa, yang juga dipakai
di Sumatera Selatan, daerah pantai Kalimantan, Kepulauan Sumbawa, dan Timor
sebenarnya serupa dengan blus. Baju ini terdiri dari dua helai potongan, yaitu
sehelai bagian depan dan sehelai lagi potongan bagian belakang, serta dua buah
lengan baju. Modelnya dapat ditambah dengan sepotong bahan berbentuk persegi
panjang yang dipakai sebagai penyambung antara kedua potongan bagian muka.
Pada bagian badan kebaya dipotong
sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan krup. Ini dimaksudkan agar
benar-benar membentuk badan pada bagian pinggang dan payudara dan sedikit melebar
pada bagian pinggul. Sedangkan, lipatan bawah bagian belakang dan samping harus
sama lebarnya dan menuju ke bagian depan dengan agak meruncing. Lengkung leher
baju menjadi satu dengan bagian depan kebaya. Lengkung ini harus cukup lebar
sehingga dapat dilipat ke dalam untuk vuring kemudian dilipat lagi keluar untuk
membentuk lengkung leher. Semua potongan tersebut dapatdikerjakan dengan mesin
jahit ataupun dijahit dengan tangan.
Sedangkan busana di kalangan pria, khususnya kerabat keraton adalah memakai memakai baju
beskap kembang-kembang atau motif bunga lainnya, pada kepala memakai destar (blankon), kain samping jarik, stagen untuk mengikat kain samping, keris dan alas kaki (cemila). Busana ini dinamakan Jawi Jangkep, yaitu busana pria Jawa secara lengkap dengan keris.
Sedangkan busana di kalangan pria, khususnya kerabat keraton adalah memakai memakai baju
beskap kembang-kembang atau motif bunga lainnya, pada kepala memakai destar (blankon), kain samping jarik, stagen untuk mengikat kain samping, keris dan alas kaki (cemila). Busana ini dinamakan Jawi Jangkep, yaitu busana pria Jawa secara lengkap dengan keris.
Meskipun seni busana berkembang baik
di lingkungan keraton, tidak berarti busana di lingkungan rakyat biasa tidak
ada yang khas. Busana adat tradisional rakyat biasa banyak digunakan oleh
petani di desa. Busana yang dipakai adalah celana kolor warna hitam, baju
lengan panjang, ikat pinggang besar, ikat kepala dan kalau sore pakai sarung.
Namun pada saat upacara perkawinan, bagi orang tua mempelai biasanya mereka
memakai kain jarik dan sabuk sindur. Bajunya beskap atau sikepan dan pada bagian
kepala memakai destar.
Busana Basahan
Salah satu jenis busana adat yang terindah dan terlengkap di Indonesia terdapat di keraton Surakarta, Jawa Tengah. Sebab, tiap-tiap jenis busana tersebut menunjukkan tahapan-tahapan tertentu dan siapa si pemakaiannya. Dalam adat busana perkawinan misalnya, seorang wanita dan pria kalangan keraton mengenakan beberapa jenis busana, yang disesuaikan dengan tahapan upacara, yaitu midodareni, ijab, panggih dan sesudah upacara panggih. Pada upacara midodareni, pengantin wanita memakai busana kejawen dengan warna sawitan. Busana sawitan terdiri dari kebaya lengan panjang, stagen dan kain jarik dengan corak batik. Sedangkan pengantin prianya memakai busana cara Jawi Jangkep, yang terdiri dari baju atela, udeng, sikepan, sabuk timang, kain jarik, keris dan selop.
Busana Basahan
Salah satu jenis busana adat yang terindah dan terlengkap di Indonesia terdapat di keraton Surakarta, Jawa Tengah. Sebab, tiap-tiap jenis busana tersebut menunjukkan tahapan-tahapan tertentu dan siapa si pemakaiannya. Dalam adat busana perkawinan misalnya, seorang wanita dan pria kalangan keraton mengenakan beberapa jenis busana, yang disesuaikan dengan tahapan upacara, yaitu midodareni, ijab, panggih dan sesudah upacara panggih. Pada upacara midodareni, pengantin wanita memakai busana kejawen dengan warna sawitan. Busana sawitan terdiri dari kebaya lengan panjang, stagen dan kain jarik dengan corak batik. Sedangkan pengantin prianya memakai busana cara Jawi Jangkep, yang terdiri dari baju atela, udeng, sikepan, sabuk timang, kain jarik, keris dan selop.
Saat upacara ijab, busana yang
dipakai pengantin wanita adalah baju kebaya dan kain jarik, sedangkan pengantin
pria memakai busana basahan. Busana basahan pengantin pria disini terdiri dari
kuluk matak petak, dodot bangun tulak, stagen, sabuk lengkap dengan timang dan
cinde, celana panjang warna putih, keris warangka ladrang dan selop.
Begitu pula pada upacara panggih kedua mempelai memakai jenis busana yang sudah ditetapkan. Pengantin wanita memakai busana adat bersama, basahan. Busana basahan adalah tidak memakai baju, melainkan terdiri dari semekan atau kemben, dodot bangun tulak atau kampuh, sampur atau selendang sekar cinde abrit dan kain jarik cinde sekar merah. Semekan atau kemben terbuat dari kain batik dengan corak alas-alasan warna dasar hijau atau biru dengan hiasan kuning emas atau putih. Kemben disini berfungsi sebagai pengganti baju dan pelengkap untuk menutupi payudara. Kain dodot yang menggunakan corak batik alas-alasan panjangnya kira-kira 4-5 meter, dan merupakan baju pokok dalam busana basahan. Selendang cinde sekar abrit terbuat dari kain warna dasar merah dengan corak bunga hitam dan kain jarik cinde sekar abrit terbuat dari kain gloyar, warna dasar merah yang dihiasi bunga berwarna hitam dan putih. Cara mengenakan kain ini seperti kain jarik tetapi tidak ada lipatan (wiron). Sama halnya dengan pengantin wanita, pengatin pria pun memakai busana adat basahan, berupa dodot bangun tulak, terdiri dari kuluk matak biru muda, stagen, sabuk timang, epek, dodot bangun tulak, celana cinde sekar abrit, keris warangka ladrang, kolong karis, selop dan perhiasan kalung ulur.
Begitu pula pada upacara panggih kedua mempelai memakai jenis busana yang sudah ditetapkan. Pengantin wanita memakai busana adat bersama, basahan. Busana basahan adalah tidak memakai baju, melainkan terdiri dari semekan atau kemben, dodot bangun tulak atau kampuh, sampur atau selendang sekar cinde abrit dan kain jarik cinde sekar merah. Semekan atau kemben terbuat dari kain batik dengan corak alas-alasan warna dasar hijau atau biru dengan hiasan kuning emas atau putih. Kemben disini berfungsi sebagai pengganti baju dan pelengkap untuk menutupi payudara. Kain dodot yang menggunakan corak batik alas-alasan panjangnya kira-kira 4-5 meter, dan merupakan baju pokok dalam busana basahan. Selendang cinde sekar abrit terbuat dari kain warna dasar merah dengan corak bunga hitam dan kain jarik cinde sekar abrit terbuat dari kain gloyar, warna dasar merah yang dihiasi bunga berwarna hitam dan putih. Cara mengenakan kain ini seperti kain jarik tetapi tidak ada lipatan (wiron). Sama halnya dengan pengantin wanita, pengatin pria pun memakai busana adat basahan, berupa dodot bangun tulak, terdiri dari kuluk matak biru muda, stagen, sabuk timang, epek, dodot bangun tulak, celana cinde sekar abrit, keris warangka ladrang, kolong karis, selop dan perhiasan kalung ulur.
Pada upacara panggih ini, biasanya
kedua mempelai pengantin melengkapi busana basahan dengan aneka perhiasan.
Perhiasan yang biasa digunakan oleh mempelai pria adalah kalung ulur,
timang/epek, cincin, bros dan buntal. Sedangkan bagi pengantin wanita,
perhiasan yang biasa dipakai adalah cunduk mentul, jungkat, centung, kalung,
gelang, cincin, bros, subang dan timang atau epek.
Berbeda dengan tahapan upacara sebelumnya, pada upacara setelah panggih, pengantin wanita memakai busana kanigaran, yaitu terdiri dari baju kebaya, kain jarik, stagen dan selop. Sedangkan pengantin pria menggunakan busana kepangeranan, yang terdiri dari kuluk kanigoro, stagen, baju takwo, sabuk timang, kain jarik, keris warangka ladrang dan selop.
Sebagai kelengkapan, dalam busana adat perkawinan, maka baik pengantin wanita maupun pria biasanya dirias pada bagian wajah dan sanggul. Tujuannya adalah agar mempelai wanita kelihatan lebih cantik dan angun dan pengantin pria lebih gagah dan tampan. Bagi pengantin pria, cara meriasnya tidak sedemikian rumit dan teliti sebagaimana pengantin wanita yang harus dirias pada bagian wajahnya mulai dari muka, mata, alis, pipi dan bibir.
Berbeda dengan tahapan upacara sebelumnya, pada upacara setelah panggih, pengantin wanita memakai busana kanigaran, yaitu terdiri dari baju kebaya, kain jarik, stagen dan selop. Sedangkan pengantin pria menggunakan busana kepangeranan, yang terdiri dari kuluk kanigoro, stagen, baju takwo, sabuk timang, kain jarik, keris warangka ladrang dan selop.
Sebagai kelengkapan, dalam busana adat perkawinan, maka baik pengantin wanita maupun pria biasanya dirias pada bagian wajah dan sanggul. Tujuannya adalah agar mempelai wanita kelihatan lebih cantik dan angun dan pengantin pria lebih gagah dan tampan. Bagi pengantin pria, cara meriasnya tidak sedemikian rumit dan teliti sebagaimana pengantin wanita yang harus dirias pada bagian wajahnya mulai dari muka, mata, alis, pipi dan bibir.
Busana Jawa baik pakaian sehari-hari
maupun pakaian upacara sangat kaya akan ragam hias yang tak jarang memiliki
makna simbolik dibaliknya. Jenis ragam hias yang dikenal di daerah Surakarta
maupun Jogyakarta adalah kain yang bermotifkan tematema geometris, swastika
(misalnya bintang dan matahari), hewan (misal : burung, ular, kerbau, naga),
tumbuh-tumbuhan (bunga teratai, melati) maupun alam dan manusia. Motif
geometris diantaranya adalah kain batik yang bercorak ikal, pilin, ikal rangkap
dan pilin ganda. Motif berupa garis-garis potong yang disebut motif tangga
merupakan simbolisasi dari nenek moyang naik tangga sedang menuju surga. Bahkan
motif yang paling dikenal oleh masyarakat Surakarta adalah motif tumpal
berbentuk segi tiga yang disebut untu walang, yang melambangkan kesuburan.
Pada busana-busana khusus untuk upacara perkawinan dikenal juga motif pada batik tulis, seperti kain sindur dan truntum yang dipakai oleh orang tua mempelai. Sedangkan kain sido mukti, kain sido luhur dan sido mulyo merupakan pakaian mempelai.
Fungsi pakaian, awalnya digunakan sebagai alat untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas. Kemudian fungsi pakaian menjadi lebih beragam, misalnya untuk menutup aurat, sebagai unsur pelengkap upacara yang menyandang nilai tertentu, maupun sebagai alat pemenuhan kebutuhan akan keindahan.
Pada busana-busana khusus untuk upacara perkawinan dikenal juga motif pada batik tulis, seperti kain sindur dan truntum yang dipakai oleh orang tua mempelai. Sedangkan kain sido mukti, kain sido luhur dan sido mulyo merupakan pakaian mempelai.
Fungsi pakaian, awalnya digunakan sebagai alat untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas. Kemudian fungsi pakaian menjadi lebih beragam, misalnya untuk menutup aurat, sebagai unsur pelengkap upacara yang menyandang nilai tertentu, maupun sebagai alat pemenuhan kebutuhan akan keindahan.
Pada
masyarakat di Jawa Tengah, khususnya di Surakarta fungsi pakaian cukup beragam,
seperti pada masyarakat bangsawan pakaian mempunyai fungsi praktis, estetis,
religius, sosial dan simbolik. Seperti kain kebaya fungsi praktisnya adalah
untuk menjaga kehangatan dan kesehatan badan; fungsi estetis, yakni menghias
tubuh agar kelihatan lebih cantik dan menarik; fungsi sosial yakni belajar
menjaga kehormatan diri seorang wanita agar tidak mudah menyerahkan
kewanitaannya dengan cara berpakaian serapat dan serapi mungkin, serta memakai
stagen sekuat mungkin agar tidak mudah lepas.
3.
Pakaian Adat Jawa Timur
Pakaian Adat Jawa Timur
– Secara sekilas pakaian adat Jawa Timur mirip dengan pakaian adat Jawa
Tengah. Hal ini dikarenakan pengaruh kebudayaan dan adat Jawa Tengah sangat
banyak.
Namun tetap berbeda, pakaian adat Jawa Tengah mengambarkan perilaku orang Jawa Tengah yang santun yang berbalut filosofi dalam kain batik.
Sedangkan pada Pakaian adat Jawa Timur mencerminkan ketegasan dan kesederhanaan kebudayaan Jawa Timur.
Namun tetap berbeda, pakaian adat Jawa Tengah mengambarkan perilaku orang Jawa Tengah yang santun yang berbalut filosofi dalam kain batik.
Sedangkan pada Pakaian adat Jawa Timur mencerminkan ketegasan dan kesederhanaan kebudayaan Jawa Timur.
Selain itu yang membedakan
pakain adat Jawa Timur dengan Jawa Tengah adalah penutup kepala yang dipakai
atau Odheng. Arloji rantai danf sebum dhungket atau tongkat.
Pakaian adat Jawa Timur biasa disebut dengan Mantenan. Karena biasanya dipakai pada saat acara perkawinan oleh masyarakat jawa Timur.Selain busana Mantenan, pakaian khas Madura juga termasuk pakain adat Jawa Timur.
Pakaian khas Madura biasa disebut pesa’an. Pakaian ini terkesan sederhana karena hanya berupa kaos bergaris merah putih dan celana longgar. Untuk wanita biasa menggunakan kebaya.
Ciri khas dari kebaya adalah penggunaan kutang polos dengan warna cerah yang mencolok. Sehingga keindahan tubuh si pemakai akan terlihat jelas.
Hal ini merupakan nilai budaya Madura yang sangat menghargai keindahan tubuh. Bukan sebagai sarana pornografi.
Warna – warna yang mencolok dan kuat yang dipakai dalam busana Madura mennjukan karakter orang Madura yang tidak pernah ragu – ragu, berani, terbuka dan terus terang.
Sedangkan untuk para bangsawan menggunakan jas tutup polos dengan kain panjang. Lengkap dengan odeng yang menunjukan derajat kebangsawanan seseorang.
Pakaian adat Jawa Timur biasa disebut dengan Mantenan. Karena biasanya dipakai pada saat acara perkawinan oleh masyarakat jawa Timur.Selain busana Mantenan, pakaian khas Madura juga termasuk pakain adat Jawa Timur.
Pakaian khas Madura biasa disebut pesa’an. Pakaian ini terkesan sederhana karena hanya berupa kaos bergaris merah putih dan celana longgar. Untuk wanita biasa menggunakan kebaya.
Ciri khas dari kebaya adalah penggunaan kutang polos dengan warna cerah yang mencolok. Sehingga keindahan tubuh si pemakai akan terlihat jelas.
Hal ini merupakan nilai budaya Madura yang sangat menghargai keindahan tubuh. Bukan sebagai sarana pornografi.
Warna – warna yang mencolok dan kuat yang dipakai dalam busana Madura mennjukan karakter orang Madura yang tidak pernah ragu – ragu, berani, terbuka dan terus terang.
Sedangkan untuk para bangsawan menggunakan jas tutup polos dengan kain panjang. Lengkap dengan odeng yang menunjukan derajat kebangsawanan seseorang.
4.
Pakaian Adat Bali
Pakaian adat Bali kalau dilihat
sekilas terkesan sama. Padahal sebenarnya pakaian adat Bali sangat bervariasi.
Dengan melihat pakaian adat Bali yang dikenakan seseorang dalam suatu
acara, bisa dilihat status ekonomi dan status pernikahannya. Namun, tak dapat
dipungkiri bahwa pakaian adat Bali memiliki keanggunan dan citra tersendiri.
Setidaknya ada tiga jenis pakaian
Adat Bali yang umum dikenakan oleh masyarakat Bali. Pertama, pakaian adat untuk
upacara keagamaan. Kedua, pakaian adat untuk upacara pernikahan. Dan, ketiga
adalah pakaian adat untuk aktivitas sehari-hari. Pakaian Adat khas Bali ini
berbeda antara yang dipakai oleh laki-laki dan perempuan.
Misalnya pemakaian sanggul ke pura
oleh remaja putri. Mereka memakai sanggul atau pusung gonjer sedangkan
untuk perempuan dewasa (sudah menikah) menggunakan sanggul (pusung tagel).
Busana Agung adalah pakaian adat Bali yang paling mewah. Pakaian adat Bali yang
satu ini biasanya dipakai pada rangkaian acara ‘Potong Gigi’ atau Perkawinan.
Busana Agung mempunyai beberapa
variasi tergantung tempat, waktu dan keadaan. Kain yang digunakan dalam pakain
adat Bali yang satu ini adalah wastra wali khusus untuk upacara atau wastra
putih sebagai simbol kesucian. Tapi, tak jarang pula kain dalam pakaian adat
Bali ini diganti dengan kain songket yang sangat pas untuk mewakili kemewahan
atau prestise bagi pemakainya.
Sedangkan untuk laki-laki Bali
selain menggunakan kain tersebut sebagai pakaian adat Bali. Mereka juga memakai
kampuh gelagan atau dodot yang dipakai hingga menutupi dada.
Sementara, perempuan Bali sebelum
menggunakan Busana Agung biasanya menggunakan kain lapis dalam yang disebut sinjang
tau tapih untuk mengatur langkah wanita agar tampak anggun.
Pakaian adat Bali selain mempunyai
nilai keindahan, tapi di dalamnya juga terkadung nilai – nilai filosofis
dan simbolik yang tersembunyi dalam bentuk, fungsi, dan maknanya. Itulah
sebabnya dalam pakaian adat Bali dihiasi oleh berbagai ornamen dan simbol yang
mempunyai arti tersindiri.
Kelengkapan
Pakaian Adat Bali
Kelengkapan pakaian adat Bali
terdiri dari beberapa item. Item itu antara lain kamen untuk pria, songket
untuk pria dan wanita, udeng untuk pria dan sanggul lengkap dengan tiaranya
untuk wanita. Disamping itu laki-laki Bali mengenakan keris, sedangkan wanita
menggunakan kipas sebagai pelengkapnya.
Berbicara masalah harga, pakaian
adat Bali ini sangat bervariasi. Songket Bali bisa didapatkan dengan varian
harga yang sesuai dengan kemampuan sang pembeli, dimana dimulai dari harga lima
ratus ribu hingga jutaan rupiah untuk yang halus dan berbenang emas. Sedangkan
yang biasa dan umum digunakan masyarakat Bali ada di bawah harga tersebut dan
tersedia secara luas di pasar-pasar tradisional.
Filosofi
dalam Pakaian Adat Bali
Pakaian adat Bali menyimpan nilai filosofi
yang sangat mendalam. Filosofi pakaian adat Bali dalam beberapa hal mungkin
hampir sama dengan kebanyakan pakaian adat daerah lain, namun karena Bali juga
merupakan salah satu tempat yang disakralkan dan sudah mendunia, maka filosofi
pakaian adat Bali ikut menjadi penting dalam eksistensinya. Pakaian adat Bali
memiliki standardisasi dalam kelengkapannya.
Pakaian adat Bali lengkap biasanya
dikenakan pada upacara adat dan keagamaan atau upacara perayaan besar.
Sedangkan pakaian adat madya dikenakan saat melakukan ritual sembahyang harian
atau pada saat menghadiri acara yang menggembirakan. Seperti pada saat pesta
kelahiran anak, sukses memperoleh panen atau kelulusan anak dan penyambutan
tamu.
Filosofi pakaian adat Bali pada
dasarnya bersumber pada ajaran Sang Hyang Widhi, yakni Tuhan yang diyakini
memberikan keteduhan, kedamaian dan kegembiraan bagi umat Hindu yang
mempercayainya.
Setiap daerah memiliki ornamen
berbeda yang memiliki arti simbolis dalam pakaian adatnya masing-masing.
Meskipun demikian, pakaian adat Bali pada dasarnya adalah sama, yakni kepatuhan
terhadap Sang Hyang Widhi. Pakaian ini juga seringkali digunakan untuk
membedakan kasta, yang merupakan buatan manusia itu sendiri. Di hadapan
Sang Hyang Widhi, manusia semua sama derajatnya. Selain sebagai bentuk
penghormatan kepada sang pencipta, pakaian adat Bali adalah suatu bentuk
penghormatan kepada tamu yang datang. Ini adalah hal yang wajar, mengingat jika
anda sebagai tamu maka akan merasa terhormat jika disambut oleh pemilik rumah yang
berpakaian bagus dan rapi.
5. Pakaian Adat Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Utara terletak di ujung utara Pulau Sulawesi
dengan Ibu kota terletak di kota Manado. Provinsi ini di sebelah selatan
berbatasan dengan provinsi Gorontalo yang merupakan hasil pemekaran wilayah
dari provinsi Sulawesi Utara. Sementara kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan
bagian utara dari provinsi ini merupakan berbatasan dengan Davao del Sur di
negara Filipina.
Adat Bolaang Mongondow
Berdasarkan catatan sejarah wilayah ini terbentuk gabungan empat
kerajaan yang berkembang pada masa penjajahan Belanda. Struktur kehidupan
masyarakat yang bernuansa kerajaan pada waktu itu kemudian melahirkan
stratifikasi sosial yang tegas. Hal ini dapat dilihat kelengkapan aksesori yang
menempel pada tubuh, serta kualitas bahan yang digunakan untuk membuat pakaian
adat setiap anggota masyarakat sesuai dengan kedudukannya dalam kehidupan
sosial.
Dilihat dari model atau wujudnya, busana adat tradisional daerah
Bolaang Mongondow, banyak mendapat pengaruh dari budaya Melayu. Busana kaum
wanita umumnya terdiri atas kain dan kebaya atau salu, sementara busana adat
yang dikenakan oleh kaum pria terdiri atas ikat kepala atau mangilenso, baniang
atau baju, celana dan sarung tenun. Dalam hal ini, busana adat tradisional kaum
bangsawan tampil dengan ciri khas tersendiri. Detil, aksesoris, bahan serta
pemilihan warnanya jauh mencolok seperti merah, ungu, kuning, keemaasan, dan
hijau dipadu dengan aksesori yang terbuat dari emas.
thanks gan berkat artikel ini saya dapat bnyk pengetahuan
BalasHapusREAL MONEY POKER
akiu sayang kamu
Hapuswah keren, jangan lupa mampir juga ke Rasanyamnyam juga ya kak :D
BalasHapusituDomino - Agen Sakong Online | Bandar66 | Capsa Susun | Bandar Poker | Judi Domino99 | BandarQ | AduQ | Poker Texas Indonesia
BalasHapusAgen Judi Online Terpercaya dan Terbaik di Indonesia
Menyediakan berbagai macam permainan Judi Kartu Online Terlengkap
1 ID untuk 9 Permainan yang disediakan oleh Situs ituDomino
• AduQ
• Poker
• BandarQ
• Domino99
• Bandar 66
• Capsa Susun
• Bandar Poker
• Bandar Sakong
• Perang Baccarat
• Bonus Cashback 0.3% (dibagikan 2x setiap Minggunya)
• Bonus Refferal 20% (dibagikan setiap Minggunya seumur hidup)
• Customer Service 24 Jam Nonstop
• Support Bank Lokal Indonesia (BCA, BNI, BRI, Mandiri, Danamon, Permata Bank)
• Pusat Bantuan ituDomino
• Pusat Bantuan ituDomino
• Deposit Via Pulsa, OVO & Gopay
LINE : ituDomino
WECHAT : CS_ituDomino
TELEGRAM : @ituDomino
WHATSAPP : +855.8933.9786
Wah cute banget tempatnya,
BalasHapusDeposit pulsa tanpa potongan
pulsa tanpa potongan
slot pulsa tanpa potongan